Berbagai lembaga yang belakangan ini kerap menampilkan hasil survei politik diingatkan tetap mengedepankan agenda pendidikan politik bagi masyarakat.
Menampilkan sisi elektabilitas tokoh politik tanpa menjelaskan kapasitas dan kredibilitas serta track record tersebut dapat dipandang sebagai pragmatisme dan bahkan pembodohan politik secara massal.
Demikian antara lain disampaikan Direktur Eksekutif Indo Parameter, Tri Wibowo Santoso dalam perbincangan beberapa saat lalu.
"Bila dalam hasil survei capres dan cawapres disertakan juga track record figur, maka masyarakat tidak seperti membeli kucing dalam karung saat menentukan pilihannya. Selain itu, hasil survei jauh dari kesan 'bayaran' dari kelompok dan pihak tertentu. Ini juga bagian dari edukasi politik ke masyarakat," katanya.
Selain itu, sambung Bowo, lembaga survei juga harus terbuka terhadap materi pertanyaan ke responden terkait dengan tokoh yang layak menjadi next leader.
"Saya curiga pertanyaannya sudah dicreate hanya untuk tokoh-tokoh yang sudah ditentukan lembaga survei, sehingga responden tidak ada pilihan lagi. Karena kalau kita cermati, tokoh yang muncul itu lagi, itu lagi. Misalnya, Airlangga Hartarto, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, AHY, Anis Baswedan, Sandiaga Uno, dan Puan Maharani," tukas Bowo.
Bagi publik, menurut Bowo, tak ada soal bila nama-nama figur yang disurvei tersebut juga disertai track recordnya. Dengan demikian, sambung Bowo, masyarakat tidak terjebak lagi pada pilihannya di Pilpres.
"Misalnya, sebut saja Airlangga Hartarto. Namanya pernah disebut memiliki conflict of interest dalam program kartu prakerja. Kemudian, medio 20 September 2018, KPK pernah menyebut akan memeriksa Ketua Umum Partai Golkar itu dalam kasus PLTU Riau," beber Bowo.
Selanjutnya, imbuh Bowo, nama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pernah dikaitkan dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP. Selain itu, Ganjar diduga juga menggunakan dana APBD sebesar Rp 18 Miliar untuk kampanye di Pemilu 2014.
Tokoh lainnya, sebut Bowo, adalah Prabowo Subianto. Nama Menteri Pertahanan itu sempat muncul dalam dalam sidang kasus korupsi ekspor benih lobster dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Pengadilan Tipikor Jakarta pada April 2021.
"Kemudian ada juga nama Ketua DPR-RI, Puan Maharani yang kerap dipromosikan lembaga survei. Nama kader PDIP itu pernah dikaitkan dalam kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos). Bahkan, publik-pun pernah digegerkan dengan munculnya sebutan 'Madam Bansos' yang tendensinya ditengarai adalah Mbak Puan," tutur Bowo.
Selain itu, ungkap Bowo, ada juga nama Anis Baswedan yang selalu muncul dalam hasil survei elektabilitas capres 2024.
"Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan pernah disebut-sebut terkait kasus dugaan korupsi lahan rumah DP 0 persen di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur. Bahkan, KPK-pun pada Mei 2021 sudah mewacanakan akan memeriksa Anis," tutur Bowo.
Selanjutnya, tambah Bowo, muncul nama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.
Memang, Indo Parameter belum rampung menelusuri track record anak sulung Presiden ke-5, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu. Namun, pastinya AHY akan terbelenggu pada warisan persoalan ketika ayahnya masih berkuasa di Tanah Air. Sebut saja kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat senilai Rp 2,5 triliun.
Nama lainnya yang muncul dalam survei adalah Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno. Bowo mengingatkan, pada medio Mei 2017, KPK pernah memeriksanya dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Pemeriksaan terhadap Sandiaga dilakukan lantaran yang bersangkutan merupakan bos dari PT Duta Graha, perusahaan yang menjalankan proyek senilai Rp 3,5 Triliun tersebut.